WELCOME TO MY WORLD

Senin, 16 September 2013

Menyentuh Langit

*Menyentuh Langit

Apakah mati itu rahasia Allah? Mutlak ditentukan oleh Allah? Maka jawabannya iya.

Ada beberapa orang yang mungkin karena terlalu kreatif atau jenius akan bilang: Nggak juga tuh, sy bisa menentukan kapan sy mati, misalnya saya naik ke menara tinggi, terus loncat. Mati, kan? Saya bisa menentukan sendiri, kan? Maka, komentar saya atas bersilat lidah ini simpel: ayo dik, buruan naik ke tower sana, mari kita buktikan apakah pendapat Anda ini benar atau tidak. Nanti saya nungguin di bawahnya.


Pun saat Fir'aun dengan gagah sekali bilang dia adalah Tuhan, dia bisa menentukan mati hidupnya seseorang. Jika dia berseru, pancung, maka pasukannya akan memancung orang. Jika dia bilang, hidup, maka pasukannya akan membiarkan orang lain hidup. Itu seolah masuk akal, sekilas nampak, bahwa mati dan hidup ternyata ditentukan oleh Fir'aun. Dia bilang mati, maka mati. Dia bilang hidup, maka hidup. Tapi nyatanya tidak. Nabi Musa adalah bantahan paling jelas, Musa adalah bayi laki-laki dari kaum yang harus dimusnahkan oleh pasukan Fir'aun, ketika ribuan bayi laki2 diburu di jaman itu, bayi Musa justeru tetap hidup, malah dibesarkan di istananya, jadi anak kesayangan Fir'aun dan jadi musabab runtuhnya Fir'aun. Lantas dimana hak preogratif Fir'aun yang seolah tidak bisa dibantah tentang hidup mati manusia jaman itu? Kalau dia memang berkuasa penuh, apa susahnya dia bilang, bunuh itu bayi. Ternyata dia tidak kuasa, malah jatuh sayang pada si bayi. Aduh bagaimana ini, bahkan Fir'aun sendiri pun tidak kuasa mengendalikan hatinya sendiri.

Tentu saja, dunia ini berjalan atas hukum alam yang sudah ditentukan. Apakah mati itu rahasia Allah? Mutlak ditentukan oleh Allah. Tapi hanya orang2 yang memperumit diri sendiri saat bilang, baiklah, saya akan mencoba mencekoki orang lain minum baygon deh, kita lihat mati apa kagak. Ada peraturan alam yang berjalan, jika tidak, rusak sudah keseimbangan alam semesta.

Tapi sungguh kita harus paham dan yakin: pengetahuan kita sangat berbeda dengan pengetahuan Allah.

Anak kecil usia enam tahun, tahu kalau dia memegang api pasti terasa panas. Juga tahu ketika api itu dikasih air pasti segera padam. Tapi pengetahuan anak kecil usia enam tahun ini jelas berbeda dengan pengetahuan orang dewasa, ahli gunung berapi misalnya. Dia tahu kalau di dalam lautan sana, lava atau magma gunung berapi menggelegak tidak padam segera oleh air lautan. Maka ketika kita tidak tahu rahasia sebuah kematian, jangan merepotkan diri berpikir yang tidak2, karena boleh jadi, posisi kita persis sekali seperti anak kecil usia enam tahun yang sok tahu, membantah dengan pengetahuannya yang amat terbatas.

Atau ketika kita menemui suku pedalaman. Berbicara dengan bahasa terbatas, mereka tidak percaya kalau manusia bisa terbang. Bahkan dijelaskan bahwa ada yang namanya pesawat terbang, tetap tidak percaya. Saat diajak naik pesawat, barulah mereka tertawa, "dulu saya kira ini burung yang terbang". Sama perumpamaannya, bahkan boleh jadi, kita lebih bebal dibanding suku pedalaman tersebut. Mereka tertawa, paham kalau salah. Kita tetap ngotot tidak tahu.

Banyak sekali hal di dunia ini yang kadang tidak bisa digapai dengan akal. Tapi percaya bahwa itu adalah hak mutlak Allah akan membawa kebahagiaan diri sendiri. Rezeki misalnya. Bekerja keras adalah kewajiban kita menjemput rezeki, tapi besar kecil keran rezeki yang mengucur adalah hak mutlak Allah. Jodoh, contoh berikutnya. Ketika dua orang menikah, itu berarti jodoh, ketika dua orang ini bercerai, bukan berarti Allah gagal dalam skenario jodohnya. Tidak begitu. Pun serupa penjelasannya, dalam kitab suci dikunci kalimat, wanita baik untuk laki2 yang baik; maka ketika ada pasangan suami istri berat sebelah, ada yang jahat, maka bukan berarti kalimat Allah dusta. Disitulah bagian terpenting bagi kita untuk mulai berpikir. Boleh jadi kalimat di kitab suci tersebut justeru menyuruh kita agar membuktikannya, bahwa kalau kita baik, maka pasangan kita juga baik.

Pengetahuan kita tidak akan pernah sama dengan pengetahuan Allah.

Maka, ketika kita tidak pernah bisa menyentuh langit dengan akal pikiran, mulailah menyentuhnya dengan hati.

-Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar