“Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau
diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti
itu, menyakitkan.”
“Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan
gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gilau
kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa
mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi
lebih penting, kita bersarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kau
cuekin, kau lupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu
seperti kau bosan makan gulai kepala ikan.”
“Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan
dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit,
gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika.
Perasaan adalah perasaan.”
“Cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan
membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.”
“Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di
tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit,
kehilangan selera makan, kehilangan semangat, hebat sekali benda bernama
perasaan itu, dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap
padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah harimu
jadi buram padahal dunia sedang terang benderang”
“Ibu, usiaku dua puluh dua, selama ini tidak ada yang mengajariku
tentang perasaan-perasaan, tentang salah paham, tentang kecemasan,
tentang bercakap dengan seorang yang diam-diam kau kagumi. Tapi soer
ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen
penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang
terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Sayangnya,
sore itu juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu
mulai muncul kecambahnya.”
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan,
nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang
mengaku sedang dirudung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan
cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak
usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan
memberikan jalan baiknya.”
“Jika dia memutuskan untuk pergi menjauh, itu berarti sudah
saatnya kau memulai kesempatan baru. Percayalah, jika dia memang cinta
sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang
harus dilalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti.
Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi,
bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup
dengan segenap perasaan riang.”
“Nah, walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung
Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan
damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di kota
Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini sibuk
berbual, berdebat, lantas tertawa bersama—bahkan saling traktir. “Siapa
di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?”
demikian Pak Tua bertanya takzim.”
“Perasaan adalah perasaan, Borno. Orang seperti kau, lebih suka
rusuh dengan perasaan itu sendiri. Rusuh dengan harapan, semoga besok
bertemu, semoga besok ada penjelasan baiknya. Semoga. Semoga.”
“Tidak ada kesalahan, kekeliruan, apalagi dosa dalam sebuah perasaan, bukan?”
“Ketika situasi memburuk, ketika semua terasa berat dan membebani, jangan pernah merusak diri sendiri.”
“Aku hanya berani bermimpi, sungguh tidak terhitung berapa kali aku bermimpi tentang kau.”
“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau
pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan itu
semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk
menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu".”
“Apakah sekarang semuanya mulai jelas? Apakah sekarang kau mulai
yakin atas hubungan ini? Apakah kau sudah punya jawabannya? Kalau sudah,
bisakah kau segera memberitahuku? Kemajuan sedikit saja di hati kau
akan memberikan rasa tenteram yang luar biasa bagiku. Bukan sebaliknya,
hingga hari ini aku hanya berkutat dengan harapa-harapan---karena itulah
yang tersisa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar